Doktrin Tritunggal: Wahyu Bersifat Progresif

Illustrasi Doktrin Tritunggal
Di BAPA GEREJA Pra-Nicea & Istilah Tritunggal telah saya buktikan bahwa sejak Bapa Gereja Awal atau purba (pra Nicea) telah mempercayai Yesus sebagai Allah. Demikian juga istilah 'Tritunggal' telah digunakan oleh mereka meskipun istilah 'Tritunggal' tidak terdapat di dalam Alkitab. Tentunya fakta-fakta tersebut membongkar dusta atau kebohongan Lembaga Menara Pengawal di brosur "Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal" yang menulis sebaliknya.

Menara Pengawal menulis di brosur "Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal" hlm. 7-9 bahwa  ajaran Tritunggal bukanlah ajaran Alkitab karena ajaran ini berkembang dan berproses di dalam sepanjang sejarah kekristenan; mulanya keilahian Yesus diteguhkan pada konsili Nicea 325 M dan keilahian Roh Kudus di Konsili Konstantinopel pada tahun 381 M, sebagai berikut:
Bagaimana Doktrin Tritunggal Berkembang?

SAMPAI di sini saudara mungkin bertanya, ’Jika Tritunggal bukan ajaran Alkitab, bagaimana itu menjadi doktrin Susunan Kristen?’ Banyak orang berpikir bahwa ini dirumuskan pada Konsili di Nicea pada tahun 325 M.

Tetapi, hal itu tidak sepenuhnya tepat. Konsili Nicea memang meneguhkan bahwa Kristus adalah dari zat yang sama seperti Allah, dan hal ini menjadi fondasi untuk teologi Tritunggal di kemudian hari. Tetapi konsili ini tidak menyusun Tritunggal, karena dalam konsili itu sama sekali tidak disebutkan mengenai roh kudus sebagai pribadi ketiga dari suatu Keilahian tiga serangkai.

Peranan Konstantin di Nicea

SELAMA bertahun-tahun, ada banyak tentangan atas dasar Alkitab terhadap gagasan yang makin berkembang bahwa Yesus adalah Allah. Dalam upaya untuk mengakhiri pertikaian itu, penguasa Roma Konstantin memanggil semua uskup ke Nicea. Yang hadir kira-kira 300, sebagian kecil dari jumlah keseluruhan.

Konstantin bukan seorang Kristen. Menurut dugaan, ia belakangan ditobatkan, tetapi baru dibaptis pada waktu sedang terbaring sekarat. Mengenai dirinya, Henry Chadwick mengatakan dalam The Early Church, ”Konstantin, seperti bapanya, menyembah Matahari Yang Tidak Tertaklukkan; . . . pertobatannya hendaknya tidak ditafsirkan sebagai pengalaman kerelaan yang datang dari batin . . . Ini adalah masalah militer. Pengertiannya mengenai doktrin Kristen tidak pernah jelas sekali, tetapi ia yakin bahwa kemenangan dalam pertempuran bergantung pada karunia dari Allah orang-orang Kristen.”

Peranan apa yang dimainkan oleh kaisar yang tidak dibaptis ini di Konsili Nicea? Encyclopædia Britannica menceritakan, ”Konstantin sendiri menjadi ketua, dengan aktif memimpin pertemuan dan secara pribadi mengusulkan . . . rumusan penting yang menyatakan hubungan Kristus dengan Allah dalam kredo yang dikeluarkan oleh konsili tersebut, ’dari satu zat dengan Bapa’ . . . Karena sangat segan terhadap kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.”
Karena itu, peran Konstantin penting sekali. Setelah dua bulan debat agama yang sengit, politikus kafir ini campur tangan dan mengambil keputusan demi keuntungan mereka yang mengatakan bahwa Yesus adalah Allah. Tetapi mengapa? Pasti bukan karena keyakinan apapun dari Alkitab. ”Konstantin pada dasarnya tidak mengerti apa-apa tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam teologi Yunani,” kata A Short History of Christian Doctrine. Yang ia tahu adalah bahwa perpecahan agama merupakan ancaman bagi kekaisarannya, dan ia ingin memperkuat wilayah kekuasaannya.


Namun, tidak seorang uskup pun di Nicea mengusulkan suatu Tritunggal. Mereka hanya memutuskan sifat dari Yesus tetapi bukan peranan roh kudus. Jika suatu Tritunggal merupakan kebenaran Alkitab yang jelas, tidakkah mereka seharusnya mengusulkannya pada waktu itu?

Perkembangan Selanjutnya

SETELAH Konsili Nicea, perdebatan mengenai pokok ini terus berlangsung selama puluhan tahun. Mereka yang percaya bahwa Yesus tidak setara dengan Allah bahkan mendapat angin lagi untuk beberapa waktu. Namun belakangan, Kaisar Theodosius mengambil keputusan menentang mereka. Ia meneguhkan kredo dari Konsili Nicea sebagai standar untuk daerahnya dan mengadakan Konsili Konstantinopel pada tahun 381 M. untuk menjelaskan rumus tersebut.

Konsili tersebut menyetujui untuk menaruh roh kudus pada tingkat yang sama dengan Allah dan Kristus. Untuk pertama kali, Tritunggal Susunan Kristen mulai terbentuk dengan jelas.


Tetapi, bahkan setelah Konsili Konstantinopel, Tritunggal tidak menjadi kredo yang diterima secara luas. Banyak orang menentangnya dan karena itu mengalami penindasan yang kejam. Baru pada abad-abad belakangan Tritunggal dirumuskan dalam kredo-kredo yang tetap. The Encyclopedia Americana mengatakan, ”Perkembangan penuh dari ajaran Tritunggal terjadi di Barat, pada pengajaran dari Abad Pertengahan, ketika suatu penjelasan dari segi filsafat dan psikologi disetujui.”
Demikian juga kutipan berikut ini untuk mendiskreditkan doktrin Tritunggal dan menggoyahkan iman orang Kristen awam yang seolah-olah doktrin Tritunggal dibuat sehingga baru mendapatkan tempat secara resmi abad ke-4, Menara Pengawal menulis demikian di brosur 'Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal' hlm. 5:
SEBUAH publikasi Protestan berkata, ”Kata Tritunggal tidak terdapat dalam Alkitab . . . Ia baru mendapat tempat secara resmi dalam teologi gereja pada abad ke-4.” (The Illustrated Bible Dictionary)
Nah, bagaimanakah kita menanggapi tulisan Menara Pengawal tersebut yang menyatakan seolah-olah doktrin Tritunggal merupakan ajaran yang dibuat karena berkembang dan berproses melalui suatu perdebatan sengit di dalam sebuah konsili sehingga dengan demikian merupakan doktrin yang disusupkan ke dalam ajaran Alkitab seiring berjalannya waktu? Khusus bahasan bagian 'Peranan Konstantin di Nicea' telah saya bahas kebohongan Menara Pengawal terhadap kutipan yang dibuatnya di Kebohongan Menara Pengawal/Saksi Yehuwa: Bagian 2

Saya harus akui bahwa doktrin Tritunggal terbentuk melalui proses dan perdebatan yang panjang. Tetapi yang saya maksud dengan proses dan perdebatan di sini bukanlah berarti konsep doktrin Tritunggal itu sama sekali tidak diajarkan oleh Alkitab sehingga kemudian dibuat melalui perdebatan dan berproses selama beberapa abad dan pada abad ke-4 oleh sebuah konsili Nicea dan Konstantinopel menjadi bagian dari doktrin kekristenan yang diyakini oleh mayoritas denominasi Kristen sampai hari ini. Sebaliknya, saya bisa meyakinkan Anda bahwa Alkitab mengajarkan konsep Tritunggal tersebut melalui tulisan ini. Nah, bagaimana proses dan perdebatan terjadi? Saya akan ulas dalam 2 bagian yaitu aspek teologis berdasarkan terang firman Tuhan dan sejarah gereja purba. 

Aspek Teologis: Wahyu Allah Yang Bersifat Progresif 

Di dalam teologi reform, ada yang disebut wahyu Allah yang bersifat progresif. Nah, doktrin Tritunggal dikategorikan sebagai wahyu tentang diri [hakekat] Allah yang dinyatakan kepada manusia secara progresif. Apakah maksud dari progresif? Pemahaman wahyu yang bersifat progresif adalah wahyu yang sifatnya semakin lama semakin jelas dimengerti oleh manusia seiring dengan berjalannya waktu dan pemahaman manusia akan Alkitab berdasarkan pencerahan dari Roh Kudus.

Wahyu yang bersifat progresif selaras dan berdasarkan pernyataan Tuhan Yesus sendiri kepada murid-murid-Nya di Yoh. 14:25-26:
Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu; tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu. (TB)
Ayat ini menyatakan bahwa Roh Kudus menggantikan Yesus untuk mengajarkan segala sesuatunya dan mengingatkan akan semua yang Yesus katakan kepada para rasul maupun orang Kristen pada umumnya. Bandingkan dengan Yoh.16:12-13

Para rasul berhubungan langsung dengan Yesus, tentunya mereka memahami siapa Bapa, siapa Yesus dan siapa Roh Kudus sejatinya. Satu hal, mereka mensejajarkan Yesus dan Roh Kudus sejajar dengan Bapa dalam hal keilahian dan kepribadian. Para penulis Perjanjian Baru tidak pernah menganggap Yesus sebagai suatu makhluk ciptaan dan Roh Kudus sebagai tenaga aktif Allah seperti yang diyakini oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Meski pun para rasul tidak memberikan doktrin Tritunggal yang terformula secara eksplisit seperti yang dicatat di dalam konsili Nicea, Konstantinopel dan Athanasius, tetapi mereka memberikan elemen-elemen rumusan Tritunggal. Kita perhatikan kutipan dari Edmund Fortman — seorang imam Katolik — di dalam bukunya Triune God yang begitu jelas tentang para penulis Perjanjian Baru: [1]
Jika kita mengambil seluruh penulis Perjanjian Baru mereka memberitahu kita hanya adanya  Allah yang esa, pencipta dan penguasa alam semesta, yang adalah Bapa Yesus. Mereka menyebut Yesus Anak Allah, Mesias, Tuhan, Juruselamat, Kalam, Bijaksana. Mereka memberi Dia fungsi keilahian dalam penciptaan, keselamatan, penghakiman. Kadang-kadang mereka memanggil Dia Allah secara eksplisit. Mereka tidak berbicara dengan lengkap dan jelas atas Roh Kudus seperti yang mereka lakukan pada Anak, tetapi pada saat mereka mengkoordinasikan Dia dengan Bapa dan Anak dan menempatkan Dia (Roh Kudus, pen) sejajar dengan mereka (Bapa dan Anak, pen) sehubungan dengan keilahian dan kepribadian. Mereka (Penulis PB, pen) memberikan kita dalam tulisan mereka rencana dasar   triadic  dan formulanya. Mereka tidak berbicara dalam  terminologi yang jelas akan natur, substansi, pribadi, hubungan, circumincession, misi, tetapi mereka menyajikan dalam cara mereka sendiri ide-ide yang berada di belakang istilah-istilah tersebut. Mereka tidak memberi kita doktrin Tritunggal yang resmi atau dirumuskan, juga tidak ajaran yang jelas bahwa dalam satu Allah terdapat tiga pribadi ilahi yang setara. Tapi mereka memberi kita unsur-unsur trinitarianisme,   data   dari  mana suatu doktrin formal tentang Allah Tritunggal dapat dirumuskan. Untuk mempelajari peralihan bertahap dari kesaksian  Alkitab tanpa  suatu formula Bapa, Anak dan Roh Kudus ke formulasi dogmatis dari doktrin Allah Tritunggal, pertama kita melihat ke Gereja Timur di mana sebagian besar perkembangan ini terjadi. Para Bapa Apostolik merupakan saksi mata atas data Alkitab dan iman tradisional ketimbang ahli teologi, tapi mereka melengkapi wawasan yang berguna ke arah garis di mana  tanpa disadari teologi Gereja itu berkembang. Kebanyakan dari mereka cukup jelas menunjukkan keyakinan dalam keilahian Kristus, kurang jelas pada kepercayaan dalam kepribadian yang berbeda dan keilahian dari Roh Kudus. Mereka memberikan bukti kuat suatu keyakinan dalam pra-ada tiga 'makhluk,' tetapi mereka tidak dilengkapi doktrin trinitarian, tidak ada kesadaran dari masalah tritunggal.” (introduction, hlm. xv)

If we take the New Testament writers together they tell us there is only one God, the creator and lord of the universe, who is the Father of Jesus. They call Jesus the Son of God, Messiah, Lord, Savior, Word, Wisdom. They assign Him the divine functions of creation, salvation, judgment. Sometimes they call Him God explicitly. They do not speak as fully and clearly of the Holy Spirit as they do of the Son, but at times they coordinate Him with the Father and the Son and put Him on a level with them as far as divinity and personality are concerned. They give us in their writings a triadic ground plan and triadic formulas. They do not speak in abstract terms of nature, substance, person, relation, circumincession, mission, but they present in their own ways the ideas that are behind these terms. They give us no formal or formulated doctrine of the Trinity, no explicit teaching that in one God there are three co-equal divine persons. But they do give us an elemental trinitarianism, the data from which such a formal doctrine of the Triune God may be formulated. To study the gradual transition from an unformulated Biblical witness to the Father, Son and Holy Spirit to a dogmatic formulation of a doctrine of the Triune God, we look first to the Eastern Church where most of this development took place. The Apostolic Fathers were witnesses to the Biblical data and the traditional faith rather than theologians, but they furnished useful insights into the lines along which the Church's unconscious theology was developing. Most of them indicated quite clearly a belief in the divinity of Christ, less clearly a belief in the distinct personality and divinity of the Holy Spirit. They gave solid evidence of a belief in three pre-existent 'beings,' but they furnished no trinitarian doctrine, no awareness of a trinitarian problem.
Doktrin Tritunggal merupakan wahyu yang bersifat progresif diakui oleh para teolog-teolog mana pun, salah satunya dapat Saudara baca di buku 'Allah Tritunggal' (1998, edisi revisi) tulisan Stephen Tong hlm. 35-36 sebagai berikut:
Doktrin Allah Tritunggal merupakan Wahyu Allah yang diberikan kepada manusia secara bertahap (bersifat progresif). Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai 'Iman dan Wahyu Allah" kita membahas istilah Wahyu Progresif (progressive Revelation), yaitu Wahyu yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas; semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna. Bagaikan sebuah bibit bunga, yang ketika ditanam di tanah, mula-mula timbul daunnya, lalu tangkai, lalu akhirnya keluarlah bunga yang indah. Demikianlah juga pada waktu Allah memberikan Wahyu pengenalan akan diriNya, langkah demi langkah semakin lama semakin jelas. Pertama-tama Allah memberikan konsep pengenalan terhadap diriNya yang paling dasar, yaitu Allah adalah Allah Yang Esa. Kemudian maju terus dengan wahyu yang semakin lama semakin jelas sampai kepada pengenalan bahwa Allah Yang Esa itu adalah Allah yang berpribadi tiga, Allah Tritunggal.
Sebagai bukti adanya wahyu Tritunggal merupakan wahyu ilahi yang bersifat progresif kita dapat lihat di Perjanjian Lama di dalam kitab Kejadian 1:26 di mana Allah memakai kata ganti 'Kita' untuk menyebut diri-Nya sendiri:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,..."
Siapakah 'Kita' di sini? Saksi Yehuwa mengatakan bahwa kata 'Kita' di sini adalah suatu diskusi antara malaikat dan Allah pada saat penciptaan. Tetapi hal demikian tidaklah tepat karena 2 hal. Pertama, jika kita melihat konteks secara keseluruhan Kejadian 1:26-27, tidak ada kata 'malaikat'. Yang ada adalah kata 'Allah'. Perhatikan.
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (TB)
Jika memang  malaikat turut bersama-sama mencipta maka akan tertulis 'Berfirmanlah Allah dan malaikat' dan 'Maka Allah dan malaikat menciptakan..." Tetapi Alkitab hanya menyatakan 'Allah'

Kedua, Yes 44:24 menyatakan bahwa Allah menciptakan seorang diri, tidak ada pendamping.  Bahkan Allah menantang "Siapakah yang menyertai aku?" untuk menegaskan bahwa hanya Allah saja yang menciptakan segala sesuatu.
Inilah firman Yehuwa, Pribadi Yang Membelimu Kembali dan Pembentukmu sejak dalam kandungan, ”Aku, Yehuwa, melakukan segala sesuatu, aku sendiri yang membentangkan langit, menghamparkan bumi. Siapakah yang menyertai aku? (NW)
Nah, wahyu doktrin Tritunggal yang bersifat progresif (makin lama makin jelas) lebih lanjut dapat kita temukan di Perjanjian Baru yaitu Yoh. 1:1-3 dimana Yesus sebagai Allah bersama-sama dengan Bapa mencipta. 
Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.
Sekarang menjadi jelas akan doktrin Tritunggal yang dinyatakan secara progresif, yaitu jika seseorang hanya mempelajari Perjanjian Lama, khususnya di dalam kitab Kejadian, ia tidak akan dapat memahami mengapa Allah menggunakan istilah kata 'Kita'. Tetapi kemudian, Kitab Yohanes menyatakan lebih jelas yaitu Yesus — sang Firman itu berhakekat Allah juga — bersama-sama dengan Allah Bapa mencipta. Nah, inilah contoh sekilas dari wahyu Tritunggal yang bersifat progresif.

Tetapi, mengapa Allah menyatakan diri-Nya dalam wahyu yang bersifat progresif? Mengapa tidak langsung saja dari sejak awalnya? Pertama, doktrin Tritunggal merupakan doktrin yang menjelaskan tentang hakekat Allah sebagai pencipta. Tentunya, memahami mengenai Allah harus dimulai dari kesadaran bahwa Allah sebagai sang pencipta tak terbatas, melampaui akal manusia yang merupakan ciptaan dan sangat terbatas. Kita harus ingat bahwa ketika berbicara tentang Allah, kita berbicara mengenai hakikat Allah yang Roh adanya (Yoh 4:24), bukan materi; tidak terbatas pada ruang dan waktu (Mazmur 93:2), dan tentu tidak seperti kita, manusia yang bersifat materi (Mazmur 90: 4-6). 

Dan meskipun Saudara telah membaca artikel ini, bukanlah berarti Saudara sudah memahami doktrin Tritunggal 100% karena bagaimana mungkin manusia bisa mempelajari dan “mengurung” Allah yang tidak terbatas di dalam akalnya yang terbatas? 

Kedua, seperti Alkitab yang diberikan kepada manusia secara bertahap (tidak sekaligus) dalam jangka ribuan tahun dan ditulis oleh lebih dari 40 orang. Demikian juga doktrin Tritunggal diberikan secara bertahap agar kita dapat menanggungnya. Hal ini dikatakan oleh Tuhan Yesus di Yohanes 16:12-13:
”Masih banyak hal yang harus aku katakan kepadamu, tetapi kamu tidak sanggup menanggungnya sekarang ini. Akan tetapi, apabila dia tiba, yaitu roh kebenaran, dia akan menuntun kamu ke dalam seluruh kebenaran, karena dia tidak akan berbicara dari dirinya sendiri, tetapi hal-hal yang dia dengar akan dia katakan, dan dia akan menyatakan kepadamu hal-hal yang akan datang.
Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang memadai bagi manusia untuk memahaminya. 

Ketiga, sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa dan dikeluarkan dari taman Eden, pengenalan akan Allah — yang memang tidak memungkinkan 100% — menjadi semakin kabur dan tidak jelas. Manusia cenderung melakukan hal-hal yang jahat, salah satunya adalah penyembahan berhala. Oleh karena itu, pada zaman dahulu Alkitab menceritakan banyak terjadi penyembahan berhala yang sifatnya animisme ataupun politheisme. Jadi, Allah menegakkan lebih dulu konsep Allah Yang Esa di dalam Perjanjian Lama, meskipun secara samar-samar dapat kita pahami adanya konsep Tritunggal di dalamnya. Baru kemudian, di dalam Perjanjian Baru, konsep Tritunggal dinyatakan semakin jelas. Perhatikan kutipan dari buku 'Allah Tritunggal' hlm. 36 menjawab pertanyaan mengapa Allah menyatakan diri-Nya dalam wahyu yang bersifat progresif:
Karena Allah ingin mencegah segala kemungkinan dari permulaan manusia sudah menangkap kesan atau konsep yang salah, sehingga jatuh kepada konsep politheisme. Maka monoteisme harus ditegakkan terlebih dahulu. Kepercayaan yang benar bukan kepada tiga allah, melainkan kepada satu Allah yang mempunyai tiga Pribadi. Maka kepercayaan kepada Allah Yang Esa harus ditegakkan lebih dulu, baru setelah itu secara lambat laun manusia diajarkan bahwa Allah Yang Esa itu mempunyai tiga Pribadi di dalam esensi atau substansi (sifat dasar) yang sama dan Esa itu.
Agar adil, saya akan mengulas ajaran Menara Pengawal tentang wahyu yang bersifat progresif. Ironisnya, jika kita cermati dengan baik, wahyu yang bersifat progresif nya Menara Pengawal tidaklah sama dengan pemahaman umat Kristen. Lebih tepatnya doktrin Menara Pengawal merupakan perubahan dalam ajarannya. Perhatikan pengakuan kutipan Menara Pengawal berikut ini yang menyatakan 'adanya perubahan dalam ajaran Saksi-Saksi Yehuwa': 
Seraya waktu berlalu mengapa ada perubahan dalam ajaran Saksi-Saksi Yehuwa?


Alkitab menunjukkan bahwa Yehuwa memungkinkan hamba-hamba-Nya untuk mengerti maksud-tujuan-Nya secara progresif. (Ams. 4:18; Yoh. 16:12) Jadi, nabi-nabi yang mendapat ilham untuk menulis bagian-bagian Alkitab, tidak memahami makna segala hal yang mereka tulis. (Dan. 12:8, 9; 1 Ptr. 1:10-12) Rasul-rasul Yesus Kristus menyadari ada banyak hal yang tidak mereka mengerti pada zaman mereka. (Kis. 1:6, 7; 1 Kor. 13:9-12) Alkitab menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kebenaran akan sangat bertambah pada ”zaman akhir”. (Dan. 12:4) Pengetahuan yang bertambah sering menuntut penyesuaian dalam pemikiran. Dengan rendah hati, Saksi-Saksi Yehuwa rela membuat penyesuaian tersebut. (Bertukar Pikiran, hlm. 334)
Apakah perbedaan antara wahyu yang bersifat progresif dengan perubahan ajaran? Jelas sangat berbeda. Misalnya saja uraian saya di atas tentang wahyu Tritunggal yang bersifat progresif di mana kata 'Kita' yang digunakan Allah saat mencipta di kitab Kejadian menjadi semakin jelas di kitab Yohanes yang menyatakan Yesus lah bersama-sama dengan Bapa mencipta. Sedangkan meskipun Menara Pengawal juga menggunakan istilah 'progresif', tetapi pemahamannya adalah perubahan. Misalnya, Russell memprediksi kiamat tahun 1914. Ketika tidak terjadi, Russell merubahnya menjadi tahun 1915 (lihat Fakta Nubuatan Kiamat Charles Russell: Bab 2, Bagian 2 untuk lebih jelasnya). Saat Rutherford memimpin Lembaga Menara Pengawal, ia mengajarkan bahwa kiamat akan terjadi tahun 1925. Atau Russell menyatakan bahwa Kristus sudah hadir secara tidak terlihat pada tahun 1874, tetapi kemudian ajaran ini dirubah oleh Rutherford menjadi tahun 1914 (lihat Joseph F Rutherford & Saksi-Saksi Yehuwa). Bagaimana dengan data yang menyimpulkan tahun-tahun tersebut sebagai hari kiamat, apakah bersumber dari Alkitab? Maaf, Alkitab tidak menyatakan kapan waktunya kiamat yang disertai dengan tahun atau pun tanggal. Alkitab hanya meminta kita untuk berjaga-jaga. Jelas keyakinan kapan waktu kiamat merupakan sebuah ajaran sesat.

Nah, apakah ajaran Menara Pengawal yang demikian sebanding dengan ajaran doktrin Tritunggal yang bersifat progresif? Tentu tidak. Meskipun Menara Pengawal menggunakan istilah progresif, tetapi sesungguhnya ajaran Menara Pengawal bukanlah bersifat progresif, melainkan perubahan total. Hanya ajaran buatan manusia yang memiliki ajaran yang berubah-ubah.

Apakah kesimpulan kita? Doktrin Tritunggal memang merupakan wahyu ilahi yang bersifat progresif, berkembang atau pun berproses. Meski pun bersifat progresif, bukanlah berarti ajaran Tritunggal tidak berdasarkan Alkitab. Doktrin Tritunggal faktanya bersumber dari Alkitab.

Kita telah membahas dengan detail mengenai aspek wahyu Tritunggal yang bersifat progresif. Bagaimana dengan aspek Sejarah Bapa Gereja Purba? Saya akan bahas di Doktrin Tritunggal: Bapa Gereja Purba

”Berjaga-jagalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan berbaju domba, tetapi di dalamnya, mereka adalah serigala-serigala yang rakus.  Dari buah-buahnya kamu akan mengenali mereka. Tidak pernah orang mengumpulkan buah anggur dari tanaman berduri atau buah ara dari rumput duri, bukan?  Demikian pula setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, tetapi setiap pohon yang busuk menghasilkan buah yang tidak berguna; (Mat. 7:15-17)


[1] Menara Pengawal juga banyak mengutip karya dari Edmund Fortman untuk mendiskreditkan doktrin Tritunggal di dalam brosur Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?

No comments :

Post a Comment

Tolong SEBUTKAN Nama Atau Initial Anda saat memberi komentar agar memudahkan Mitra diskusi Anda mengidentifikasikan Anda.

Non Kristiani, mohon tidak memberi komentar.

Jika Anda ingin komentar, silahkan klik DI SINI DULU

.